Dr. Albertus Djaja adalah pengecualian. Ia tidak tampil mencolok, tidak sibuk membangun persona. Ia hanya seorang dokter yang memilih menjadikan ruang digital sebagai medium edukasi kesehatan. Dan itu dilakukannya secara konsisten.
Banyak orang mengenalnya sebagai dokter yang sabar menjawab pertanyaan netizen, baik yang serius maupun receh. Ia membahas diabetes, kolesterol, hipertensi, bahkan gaya hidup urban—semuanya disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Bagi sebagian orang, ia bukan hanya sumber informasi, tapi juga sumber ketenangan.
Itulah sebabnya kepergiannya yang mendadak bukan hanya mengejutkan, tapi juga membingungkan.
Beberapa bulan sebelum meninggal dunia, arah konten Dr. Albertus perlahan berubah. Dari kesehatan, ia mulai menyinggung topik-topik finansial. Investasi, properti, dan perencanaan keuangan menjadi bagian dari siaran langsungnya. Di titik inilah nama Oktaviana Thamrin mulai sering muncul, menjadi rekan diskusi dalam sejumlah live Instagram.
Interaksi mereka awalnya tampak profesional. Namun belakangan, publik mulai merasa ada dinamika personal yang tidak biasa. Sebagian netizen mengaitkan kemunculan Oktaviana dengan sejumlah perubahan dalam ekspresi dan nada bicara Dr. Albertus. Tidak sedikit yang menangkap kesan bahwa ia sedang tidak berada dalam kondisi ideal—psikologis maupun emosional.
Spekulasi mulai bermunculan, terutama setelah diketahui bahwa ada pengalihan kendali atas sejumlah aset pribadi milik almarhum.
Kematian Dr. Albertus diumumkan singkat, tanpa detail yang memadai. Tidak ada penyataan terbuka dari keluarga, tidak ada rilis medis yang menjelaskan penyebabnya secara resmi. Dalam situasi seperti ini, keheningan justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.
Akun Instagram @justiceforalbertus menjadi saluran alternatif bagi publik yang masih mencari kejelasan. Di sana, beredar potongan video, analisis naratif, dan penggalan-penggalan informasi yang disusun dalam upaya membangun konteks.
Apakah benar ada tekanan dari pihak tertentu? Apakah perubahan tema konten dan ekspresi itu berkaitan dengan konflik yang lebih besar? Semua pertanyaan itu masih belum memiliki jawaban pasti.
Yang jelas, publik belum merasa cukup.
Setiap kematian adalah urusan pribadi. Tapi ketika seseorang yang wafat adalah figur publik yang berkontribusi besar kepada masyarakat, ruang untuk bertanya menjadi relevan. Terutama ketika kepergiannya tidak disertai kejelasan, dan ketika banyak pihak merasa kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar sosok.
Klarifikasi bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan untuk menjaga martabat. Diam bukan selalu bentuk penghormatan. Dalam beberapa kasus, keheningan justru bisa menumbuhkan ketidakadilan.
Dr. Albertus telah pergi. Tapi jejaknya tetap hidup—dalam video edukasi yang masih ditonton, dalam nasihat-nasihat sederhana yang pernah ia sampaikan, dan dalam cara ia memperlakukan orang dengan respek.
Yang kini tersisa adalah tanggung jawab bersama: menjaga warisannya dengan jujur. Termasuk, bila perlu, dengan mengungkap apa yang mungkin terjadi di balik kepergiannya.
Karena menghormati orang baik bukan hanya dengan mengenangnya, tapi juga dengan memastikan kebenaran tak tertinggal di balik kabut.